Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 12 September 2011

Doa Sebelum Makan dan Minum Beserta adap-adabnya


بِسْمِ اللَّهِ

Bismillaah
"Dengan menyebut nama Allah"
Yang pertama adalah Do’a ketika hendak makan

ALLAHUMMA BAARIKLAN FIIMA RAZAQTANA WAKINA AZABANNAAR

Hei…mungkin langsung ada yang bertanya-tanya, bukankah saat hendak makan doa yang dibaca “ Allahumma bariklana… ?” 
Jawabnya, “Bukan saudariku.” Bahkan do’a tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya disebutkan dalam hadits yang lemah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak menyantap makanan, beliau membaca
 
"ALLAHUMMA BARIKKLANA FIIMA RAZAKTANA WAKINA AZABANNAR"

“Ya Allah, berkahilah kami pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada kami, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka. 

Takhrij ;

Hadits ini diriwayatkan Imam Ath- Thabarani dalam Ad-Du’ a` (814), Ibnu As-Sunni dalam ‘ Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (456), dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Muhammad
bin Abi Az-Zu’ aizi’ ah); dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Derajad hadits ; dho'if

terdapat Muhammad bin Abi Az-Zu’ aizi’ ah dalam sanadnya. Ibnu Abi Az- Zu’ ai’ ah ini adalah seorang yang dha’ if, didha’ ifkan oleh para imam hadits. Imam Al-Bukhari dalam At- Tarikh Al-Kabir (244) berkata, “Haditsnya sangat mungkar.” Ibnu Hibban berkata, “Dia termasuk orang yang suka meriwayatkan hadits mungkar dari para imam yang masyhur… Tidak boleh berhujjah dengannya.”

Abu Nu’ aim Al-Ashbahani berkata dalam Adh-Dhu’ afa` (227), “Mengabarkan hadits-hadits mungkar di Syam dari Nafi’ dan Ibnul Munkadir.”

Ibnu Abi Hatim dalam Al- Jarh wa At-Ta’ dil (1425) berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang dia (Muhammad bin Abi Az- Zu’ aizi’ ah), maka dia mengatakan; Tidak usah diurusi, dia itu munkarul hadits.”

Ibnu Adi berkata, “Dia munkarul hadits, haditsnya tidak perlu ditulis.”

Al-Uqaili memasukkan Muhammad bin Abi Az- Zu’ aizi’ ah dalam kitabnya Adh-Dhu’ afa` Al-Kabir, nomor 1621. Ibnu Hajar menukil dari Ibnu Hibban, “Dia itu salah seorang dajjal.

Dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang diantara kalian makan makanan, maka ucapkanlah, ‘BismillaaH’.
Jika lupa membacanya pada permulaan makan, maka ketika teringat ucapkanlah, ‘BismillaaHi fii awwaliHi wa aakhiriHi’” (HR. at Tirmidzi no. 1858, Abu Dawud no. 3767, Ahmad 6/207-208 dan ad Darimi 2/94, at Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih”)
Adapun jika kita terlupa membaca‘bismillah’ di awal waktu kita makan, maka kita cukup membasa ‘bismillah awwalahu wa aakhirohu’ di saat kita ingat. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang kamu makan, maka sebutlah nama Allah Ta’ala (bismillah). 

Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal makannya, maka hendaklah ia mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ أوَّلَهُ وَ اخِرَهُ
(Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan pada akhirnya)’.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”).



Pada hadits Umar bin Abi Salamah yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda kepadanya:

يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

"Wahai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu." (HR Bukhari no. 4957 dan Muslim no. 3767 dari Maktabah Syamilah)

Dan juga hadits Aisyah radliyallah 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

"Apabila seorang kalian ingin makan, hendaknya dia membaca "bismillah". Dan jika ia lupa membaca di awalnya, hendaknya ia membaca "bismillah fii awwalihi wa aakhirihi." (HR. al Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1513)

Dalam hadits yang lain dari seorang sahabat yang telah membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama 8 tahun bercerita bahwa dia selalu mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila mendekati makanan membaca ‘bismillah.’” (HR. Muslim dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, 1/111)

Cukup Bismillaah

Dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang diantara kalian makan makanan, maka ucapkanlah, ‘BismillaaH’. Jika lupa membacanya pada permulaan makan, maka ketika teringat ucapkanlah, ‘BismillaaHi fii awwaliHi wa aakhiriHi’” (HR. at Tirmidzi no. 1858, Abu Dawud no. 3767, Ahmad 6/207-208 dan ad Darimi 2/94, at Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih”)


Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, bacaan sebelum makan yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan "bismillaah", tanpa tambahan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al Albani berdasarkan hadits Umar bin Abi Salamah dan hadits 'Aisyah. Beliau mengatakan, "dan di dalam hadits terdapat dalil bahwa bacaan ketika akan makan hanya bismillaah saja."

Beliau juga menyatakan dalam Silsilah Shahihah (1/152) “Membaca sebelum makan adalah ‘Bismillaah’ dan tidak ada tambahan padanya. Dan semua hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini tidak ada tambahan sedikitpun. Dan saya tidak mengetahui satu haditspun yang di dalamnya ada tambahan (bismillaahirrahmaanirrahiim, pent).”

Ibnu Hajar menguatkan pendapat di atas dengan bersandar kepada hadits Aisyah, "Dia (bismillaah,- pent) adalah lafadz paling jelas tentang bentuk bacaan (sebelum makan)." (Fathul Baari: 9/455)

Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui satu dalil khusus yang mendukung klaim Imam Nawawi bahwa ucapan bismillaahirramaanirrahiim ketika hendak makan itu lebih afdhal. Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Albani, "tidak ada yang lebih afdhal daripada sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."

Jika tidak ada keterangan tentang bacaan sebelum makan kecuali hanya bismillaah, maka tidak boleh menambah, terlebih lagi menyatakan bahwa menambahnya lebih utama. Sebabnya, karena bertentangan dengan hadits, "sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam)." (Dikutip dari Silsilah Shahihah: 1/611)

Jika tidak ada keterangan tentang bacaan sebelum makan kecuali hanya bismillaah, maka tidak boleh menambah, terlebih lagi menyatakan bahwa menambahnya lebih utama.

Hukum membaca "Bismillaah"

Berdasarkan hadits-hadits di atas, menunjukkan bahwa membaca "bismillaah" ketika makan dan minum adalah wajib dan berdosa bila meninggalkannya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Yang benar adalah wajib membaca "bismillaah" ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Dan tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satupun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani syetan dalam makan dan minumnya.”

Hendaklah seorang muslim ketika makan dan minum melakukannya dengan duduk.

Dari Anas bin Malik radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,“Rasulullah pernah diberi kurma. Aku melihat beliau menyantapnya sambil duduk dengan posisi iq’a karena lapar” (HR. Muslim no. 2044, Abu Dawud no. 3771 dan an Nasai)

Sifat duduk ketika makan yaitu duduk di atas kedua lutut dan punggung kedua telapak kaki atau kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Sikap duduk ini sangat dianjurkan sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari (Terjemahan Aktsaru min Alfi Sunnatin hal. 140)

Dari Anas radhiyallaHu ‘anHu, dari Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bahwasannya beliau melarang seorang laki-laki minum sambil berdiri. Qatadah berkata, “Kami bertanya kepada Anas, ‘(Bagaimana) kalau makan ?’”. Dia menjawab, “Itu lebih buruk” (HR. Muslim, hadits no. 775 pada Kitab Riyadush Shalihin)

Namun demikian ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallaHu ‘anHu berkata,

“Aku pernah melihat Rasulullah minum sambil berdiri dan sambil duduk” (HR. at Tirmidzi, hadits no. 774 pada Kitab Riyadush Shalihin, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Mukhtashar asy Syimaa-ilul Muhammad no. 177)

Dari nash di atas para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan adab ketika minum. Ath Thahawi berpendapat dalam Musykilul Atsar (III/18, 21) bahwa larangan itu menunjukkan haram. Sementara itu menurut Imam an Nawawi hal tersebut hanya makruh tanzih, sedangkan Syaikh al Albani cenderung kepada pendapat yang pertama (Ash Shahihah no. 175-177)

Tasmiyah (Membaca Bismillaah) sebelum Makan dan Minum

Dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHa, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang diantara kalian makan makanan, maka ucapkanlah, ‘BismillaaH’. Jika lupa membacanya pada permulaan makan, maka ketika teringat ucapkanlah, ‘BismillaaHi fii awwaliHi wa aakhiriHi’” (HR. at Tirmidzi no. 1858, Abu Dawud no. 3767, Ahmad 6/207-208 dan ad Darimi 2/94, at Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih”)

Makan dan Minum Menggunakan Tangan Kanan serta Mengambil Makanan yang Terdekat.

Dari Umar bin Abi Salamah radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai anak, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang terdekat darimu” (HR Bukhari dan Muslim, hadits no. 732 pada Riyadush Shalihin)

Makan dengan Ketiga Ruas Jari serta Menghabiskan Makanan.

Dari putra Ka’ab bin Malik, dari ayahnya radhiyallaHu ‘anHu, bahwasannya dia berkata,

“Nabi biasa makan dengan menggunakan tiga jarinya, lalu menjilati ketiga jarinya tersebut” (HR. Muslim no. 2032 dan Ahmad)

Dari Jabir radhiyallaHu ‘anHu, bahwa Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam memerintahkan menjilat-jilat jemari dan membersihkannya dan bersabda,

“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian manakah keberkahan itu ada pada makananmu” (HR. Muslim, hadits no. 754 pada Riyadush Shalihin)

Larangan Bernafas Pada Bejana (Gelas) Ketika Minum

Dari Ibnu Abbas radhiyallaHu ‘anHu, bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam melarang bernafas dalam bejana atau meniup di dalamnya (HR. at Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Mengucapkan Hamdalah ketika Selesai Makan dan Minum

Dari Anas bin Malik radhiyallaHu ‘anHu, Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setiap kali selesai makan dan minum” (HR. Muslim, hadits no. 186 dalam al Kalimuth Thayib)

Tidak Berlebihan dalam Makan dan Minum

Hendaknya bagi kaum muslimin ketika makan agar menghindari kenyang yang melampau batas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya” (HR. Ahmad IV/132, Ibnu Majah no. 3349 dan al Hakim IV/121, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Irwaa-ul Ghalil no. 1983)
 
Wallahu’alam bissawaf

beberapa sumber diantaranya

Adab Harian Muslim Teladan, Syaikh ‘Abdul Hamid as Suhaibani, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.

Karakter dan Kepribadian Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, Imam at Tirmidzi, Tahqiq oleh Syaikh al Albani, Pustaka Tibyan, Solo, Edisi Indonesia.

Kumpulan Doa dan Dzikir Nabawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq oleh Syaikh al Albani, Dar el Hujjah, Jakarta.

Lebih dari 1000 Amalan Sunnah, Syaikh Khalid al Husainan, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor.

Tarjamah Riyadush Shalihin Jilid 2, Imam an Nawawi, Takhrij oleh Syaikh al Albani, Duta Ilmu,
Continue Reading »

Rabu, 07 September 2011

Pengertian Tajwid


Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca Al-Quran dengan sebaik-baiknya.

Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan Al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.

Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardlu kifayah, sedang membaca Al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardlu ‘Ain.

Dalil Wajib Mempraktekkan Tajwid Dalam Setiap Pembacaan Al-Qur’an:

  1. Dalil dari Al-Qur’an.

    Firman Allah s.w.t.:

    Artinya: Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)
    [Q.S. Al-Muzzammil (73): 4].

    Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah s.w.t. memerintahkan Nabi s.a.w. untuk membaca Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).

    Firman Allah s.w.t. yang lain:

    Artinya: Dan Kami (Allah) telah bacakan (Al-Qur’an itu) kepada (Muhammad s.a.w.) secara tartil (bertajwid) [Q.S. Al-Furqaan (25): 32].

  2. Dalil dari As-Sunnah.

    Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. (istri Nabi s.a.w.), ketika beliau ditanya tentang bagaiman bacaan dan sholat Rasulullah s.a.w., maka beliau menjawab:

    Artinya: "Ketahuilah bahwa Baginda s.a.w. sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah s.a.w. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu." (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi)

    Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Amr, Rasulullah s.a.w. bersabda:

    Artinya: "Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang, yaitu: Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim, Mu’az bin Jabal dan Ubai bin Ka’ad." (Hadits ke 4615 dari Sahih Al-Bukhari).

  3. Dalil dari Ijma' Ulama.

    Telah sepakat para ulama sepanjang zaman sejak dari zaman Rasulullah s.a.w. sampai dengan sekarang dalam menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an secara bertajwid adalah suatu yang fardhu dan wajib. Pengarang kitab Nihayah menyatakan: "Sesungguhnya telah ijma’ (sepakat) semua imam dari kalangan ulama yang dipercaya bahwa tajwid adalah suatu hal yang wajib sejak zaman Nabi s.a.w. sampai dengan sekarang dan tiada seorangpun yang mempertikaikan kewajiban ini."

Di Salin dari : Paviliyun Keluarga
 
Continue Reading »

Minggu, 04 September 2011

Aisyah bintu Abu Bakar



Ummul Mukminin Aisyah radiallahu’anha, istri Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam yang mulia pernah menceritakan kisahnya yang panjang tentang fitnah terhadap dirinya. Aisyah berbicara, "Kapan Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam ingin bepergian (safar), beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang keluar undiannya, dialah yang dibawa serta dalam safar beliau. Dalam suatu safarnya guna melakukan peperangan[Yaitu perang menghadapi Bani Mushthaliq dari Khuza'ah], beliau mengundi di antara kami. Keluarlah namaku, sampai ia membawaku dalam safar tersebut setelah turunnya perintah hijab[Yaitu ayat yang berisi perintah kepada wanita untuk menutup dirinya dari pandangan lelaki ajnabi / non mahram. Karena itulah Aisyah radiallahu’anha dibawa dalam sekedupnya yang tertutup dari pandangan orang-orang dan sekedup itu diletakkan di atas punggung unta. Karena bagian dalam sekedup itu tertutup dari pandangan mata, maka orang-orang yang memikulnya tidak tahu apakah Aisyah ada di dalamnya atau tidak, 
sebagaimana akan disebutkan dalam kelanjutan kisah Aisyah ini]. Aku dibawa pada sekedupku dan diturunkan dari unta dengan sekedupku [Yang dipikul oleh beberapa orang]. Kami terus berjalan dalam safar tersebut sampai Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam selesai dari peperangannya dan kembali pulang.

Suatu malam saat perjalanan telah mendekati kota Madinah, rombongan berhenti untuk istirahat beberapa waktu. Aku pun keluar dari sekedupku untuk menunaikan hajat, berjalan jauh sendirian sampai meninggalkan rombongan tim tersebut. Selesai menunaikan hajat, aku kembali ke untaku.Namun ternyata kalung dari batu merjan Azhfar yang sebelumnya melingkar di leherku hilang. Aku pergi mencarinya sampai aku tertahan beberapa waktu karenanya. 


Sementara itu datanglah orang-orang yang bertugas mengangkat sekedupku. Mereka memikul sekedupku dan menaikkannya ke atas unta yang aku tunggangi dalam kondisi mengira aku berada di dalam sekedup tersebut. Kenapa demikian? Karena kaum wanita di masa itu kurus-kurus, tidak diberati dengan daging. Mereka hanya makan sedikit makanan. Orang-orang yang mengangkat sekedupku itu tidak merasa aneh dengan ringannya sekedup tersebut[Karena ada atau tidak adanya Aisyah radiallahu’anha di dalamnya sama saja untuk mereka, tidak terlalu terasa bedanya, karena ringannya tubuh Aisyah radiallahu’anha]


Aku sendiri saat itu masih sangat belia[Aisyah radiallahu’anha sudah menyatakan tubuhnya kurus, ditambah lagi usianya masih kecil, belum genap 15 tahun, sehingga lebih menunjukkan ringannya tubuhnya. Seakan-akan Aisyah juga ingin menunjukkan udzur dari perbuatannya yang demikian bersemangat mencari kalungnya yang putus. Juga kenapa ia mencarinya sendirian tanpa mengajak teman atau memberitahu suaminya. Hal itu terjadi karena usianya yang masih kecil dan minim pengalaman sehingga tidak menyadari akibat yang akan didapatnya.Dari sini diperoleh pula manfaat bahwa orang-orang yang memikul sekedup Aisyah sangatlah beradab terhadap Aisyah, sangat jauh dari perbuatan mengintip isi sekedup. Sehingga ketika mereka mengangkat sekedup itu mereka tidak tahu bahwa Aisyah tidak berada di dalamnya. (Fathul Bari, 8 / 584)].

Unta-unta pun diberangkatkan bersama rombongan tim. Mereka melanjutkan perjalanan di akhir malam. Sementara itu aku telah menemukan kalungku yang hilang, namun rombongan tim telah berlalu. Aku kembali ke tempat mereka tadinya beristirahat, namun tidak seorang pun yang kutemui. Aku menuju ke tempat diletakkannya sekedupku dengan keyakinan mereka akan menyadari ketidakberadaan diriku bersama rombongan sampai mereka kembali ke tempat tersebut untuk mencariku. Ketika aku sedang duduk di tempatku berada, rasa kantuk menyerangku sampai aku tertidur.

Saat itu Shafwan ibnul Mu'aththal As-Sulami Adz-Dzakwani radiallahu anhu berada di belakang tim. Ia tertinggal jauh dari rombongan. Sampailah ia di tempatku. Ia melihat ada orang yang sedang tidur. Ia pun mendatangi tempatku dan mengenaliku karena ia pernah melihatku sebelum turun perintah hijab. Aku terbangun dengan ucapan istirja'nya[Yaitu ucapan Inna lillahi wa inna ilaihir raji'un] ketika melihatku. Kututupi wajahku yang tersingkap dengan jilbabku. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara satu kata pun. Aku pun tidak mendengar darinya satu kata pun selain ucapan istirja'nya sampai ia menderumkan untanya, lalu membelakangiku. Aku naik ke atas unta tersebut dalam keadaan dituntun oleh Shafwan sampai kami berhasil menyusul rombongan tim saat mereka istirahat di siang hari yang panasnya menyengat. Maka binasalah orang yang binasa dengan kejadian tersebut. Yang paling berperan menyebarkan berita dusta[Yakni Shafwanz dituduh telah berbuat tidak senonoh dengan Ummul Mukminin Aisyah] itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.

Kami akhirnya tiba di Madinah. Di awal kedatangan kami, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara orang-orang tenggelam dalam pembicaraan seputar tuduhan dusta terhadap, dalam kondisi aku tidak mengetahuinya sedikitpun. Hanya saja aku melihat keganjilan. Tidak kudapati kelembutan Rasulullah sallallahu’alaihi wasallm sebagaimana yang biasa aku dapatkan bila sedang sakit. Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam hanya masuk sebentar ke tempatku, mengucapkan salam, kemudian berkata kepada ibuku yang merawatku, "Bagaimana kondisi putri kalian?" Setelah itu beliau berlalu. Demikianlah keganjilan yang ada.Namun aku tidak menyadari bila ada berita jelek seputar diriku. Sampai akhirnya aku keluar dari rumahku dalam keadaan masih sempoyongan karena belum begitu pulih dari sakitku. Ummu Misthah menemaniku saat itu. Kami menuju ke tempat kami biasa buang hajat, dan kami tidak keluar untuk buang hajat kecuali pada waktu malam. Itu kami lakukan sebelum kami membuat WC dekat rumah kami. Hal kami adalah sebagaimana perkaranya orang Arab yang awal dalam menemukan tempat yang jauh untuk buang hajat. Dulunya kami merasa terganggu dengan bau tidak sedap bila membuat WC dekat rumah kami.

Aku pergi bersama Ummu Misthah. Ia adalah putri Abu Rahm bin Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin Amir, bibi Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahu ‘anhu.Putranya bernama Misthah bin Utsatsah radiallahu’anhu [Misthah dan ibunya termasuk muhajirin Awwalin (orang-orang yang pertama berhijrah ke Madinah). Ayah Misthah meninggal saat ia masih kecil, maka ia diasuh oleh Abu Bakar karena kekerabatannya dengan ibu Misthah].

Seselesainya dari urusan kami, aku dan Ummu Misthah kembali menuju ke rumahku. Ketika itu Ummu Misthah terpeleset, ia pun mengumpat anaknya, "Celaka Misthah."
"Jelek sekali ucapanmu", tegurku, "Apakah engkau mencela seseorang yang pernah ikut dalam perang Badr?"

"Wahai wanita yang lengah (sedikit pengetahuan tentang tipu daya yang dilakukan manusia), apakah kau mendengar apa yang diucapkan oleh Misthah?" Tanya Ummu Misthah.
"Apa yang dikatakannya?" Tanyaku.

Ummu Misthah menceritakan kepadaku apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyebarkan berita dusta seputar diriku, sampai bertambah parahlah sakitku.
Sesampainya di rumah, Rasulullah sallallahu’alahi wasallam masuk menemuiku, mengucapkan salam lalu bertanya, "Bagaimana keadaanmu?"

"Apakah engkau mengizinkan aku untuk pergi menemui kedua orangtuaku?", Pintaku kepada beliau . Ketika itu aku berniat mencari kepastian berita yang disampaikan Ummu Misthah ke kedua orang tuaku. Rasulullah sallallahu’alahi wasallam memberikan izin, maka aku pun mendatangi kedua orangtuaku.

"Wahai ibunda, apa gerangan yang diperbincangkan orang-orang tentang diriku?" Tanyaku kepada ibuku.
"Wahai putriku, tenanglah jangan khawatir. Demi Allah, jarang sekali keberadaan seorang wanita jelita yang dicintai oleh suaminya, dan ia memiliki madu-madu melainkan dia akan banyak dibicarakan dan dicari-cari kesalahannya, "kata ibuku menghibur.
"Subhanallah, berarti benar orang-orang membicarakan berita dusta tersebut?" Tanyaku.
Sepanjang malam itu aku menangis sampai pagi hari air mataku tidak berhenti mengalir. Aku tidak bercelak untuk berangkat tidur [Menunjukkan bahwa Aisyah begadang], sampai pagi aku terus menangis.

Ketika wahyu belum juga turun, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk mengajak keduanya bermusyawarah, apakah menceraikan istrinya [Yakni Aisyahatau tidak. Usamah bin Zaid mengisyaratkan kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam dengan apa yang diketahuinya bahwa istri beliau terlepas dari tuduhan tersebut dan dengan apa yang diketahuinya dari kecintaan Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam pada istri beliau. "Wahai Rasulullah, tahanlah istrimu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan, "ujar Usamah.

Adapun Ali bin Abi Thalib menyatakan, "Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyempitkanmu. Wanita selain dia masih banyak. Namun bila engkau bertanya kepada budak perempuan itu[Yang Ali maksudkan adalah budak perempuan bernama Barirah yang biasa melayani Aisyah], niscaya ia akan membenarkanmu [Bahwa istrimu suci, lalu dari tuduhan tersebut]. "
Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam kemudian memanggil Barirah. "Wahai Barirah, apakah engkau pernah melihat dari Aisyah sesuatu yang meragukanmu?" Tanya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam

Barirah menjawab, "Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Tidak pernah aku lihat darinya suatu hal pun yang aku anggap jelek, kecuali sekedar ia seorang wanita yang masih belia, yang tertidur / default dari menjaga adonan roti untuk keluarganya sampai datanglah kambing memakan adonan tersebut. "

Pada hari itu Rasulullah sallallahu’alahi wasallam bangkit mencari bantuan untuk membalas perbuatan Abdullah bin Ubai bin Salul. Beliau bersabda di atas mimbar, "Hai kaum mukminin! Siapakah yang dapat membantuku menghadapi seseorang yang telah menyakitiku dalam urusan anggota baitku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari istriku kecuali kebaikan. Namun mereka telah menyebut-nyebut seorang lelaki[Yakni Shafwanyang aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah masuk menemui keluargaku kecuali bersamaku. "

Bangkitlah Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari radiallahu’anhu sembari berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan menuntaskan sakit hatimu terhadap orang tersebut. Kapan ia dari kalangan kabilah Aus (kabilahnya), aku akan memenggal lehernya. Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami, orang-orang Khazraj, engkau perintahkan pada kami apa yang engkau inginkan dan kami akan melaksanakan titahmu, "ucapnya.

Sa'ad bin 'Ubadah radiallahu’anhu, pemuka orang-orang Khazraj, berdiri dan ia sebelumnya seorang yang sempurna keshalihannya, namun ia dihinggapi semangat kesukuannya sampai ia berkata kepada Sa'ad bin Mu'adz, "Dusta engkau, demi Allah. Jangan engkau bunuh dia dan engkau tidak akan mampu membunuhnya. "

Usaid bin Hudhair radiallahu’anhu, anak paman Sa'ad bin Mu'adz, berdiri dan ikut angkat suara menujukan kepada Sa'ad bin 'Ubadah, "Dusta engkau, demi Allah.Kami sungguh-sungguh akan membunuh orang itu. Kamu memang munafik yang ingin berdebat membela orang-orang munafik. "[Usaid tidaklah memaksudkan kemunafikan di sini dengan kemunafikan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam]

Bangkitlah emosi dua kabilah ini, Aus dan Khazraj. Sampai-sampai mereka ingin mengobarkan perang sementara Rasulullah sallallahu’alaihi wasllam masih berdiri di atas mimbar. Ia terus menerus menenangkan kedua belah pihak sampai mereka terdiam dan ia pun diam. "
Aisyah radiallahu’anha melanjutkan kisahnya, "Aku tinggal di hariku tersebut dalam kondisi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak bercelak untuk berangkat tidur. Di pagi harinya, kedua orangtuaku telah berada di sisiku. Sungguh aku telah menghabiskan air mataku. Menangis sehari dua malam dan tidak bercelak. Air mataku tiada henti mengalir. Keduanya mengira tangisan yang demikian akan membelah hatiku. Ketika keduanya sedang duduk di sisiku yang masih terus menangis, datang seorang wanita Anshar minta izin menemuiku. Aku mengizinkannya, ia duduk menangis bersamaku. Dalam kondisi demikian, Rasulullah sallallahu’alahi wasllam masuk menemui kami. Beliau mengucapkan salam, kemudian duduk. Beliau belum pernah duduk di sisiku sejak tersebar fitnah tersebut. Telah lewat waktu sebulan, wahyu belum juga turun sehubungan dengan perkaraku. Rasulullah sallallahu’alahi wasallam bertasyahhud ketika duduk, lalu berkata, "Adapun setelah itu, wahai Aisyah, sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau begini dan begitu. Jikalau memang engkau terlepas dari tuduhan tersebut maka Allah akan menyatakan hal itu, Dia akan membersihkanmu dari tuduhan tersebut. Namun jika memang engkau berbuat dosa, minta ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena jika seorang hamba mengakui dosanya, kemudian ia bertobat kepada Allah, Allah pasti akan menerima taubatnya. "

Seselesainya Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam dari ucapannya tersebut, menyusutlah air mataku sampai aku merasa tidak ada setetes pun yang keluar. Aku katakan kepada ayahku, "Mohon beri tanggapan terhadap pernyataan Rasulullah sallallahu’alahi wasallam itu."
"Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam," jawab ayahku.

"Berilah jawaban kepada Rasulullah sallallahu’alahi wasallam, wahai ibu," kataku kepada ibuku.
Beliau menjawab yang sama dengan jawaban ayahku, "Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam."

Sebagai wanita yang masih belia belum banyak membaca / menghafal Al-Qur'an, aku menjawab, "Demi Allah, aku sungguh yakin kalian telah mendengar pembicaraan jelek tentang diriku sampai menetap di hati kalian dan kalian membenarkannya. Kalau aku katakan pada kalian bahwa aku berlepas diri dari tuduhan tersebut, dan demi Allah Dia tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut, niscaya kalian tidak akan membenarkanku (tidak percaya dengan pengingkaranku). Kalau aku mengakui hal tersebut benar adanya-padahal demi Allah Dia Tahu aku terlepas dari tuduhan tersebut-kalian akan mengizinkan pengakuanku. Demi Allah, aku tidak mendapatkan permisalan untuk kalian kecuali ucapan ayah Yusuf (Nabi Ya'qub) yang berkata:

׎ö9|Ásù ×@ŠÏHsd ( ª!$#ur ãb$yètGó¡ßJø9$# 4n?tã $tB tbqàÿÅÁs? ÇÊÑÈ

'Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Allah sajalah yang dimintai pertolongan pada apa yang kalian ceritakan '. "(Yusuf: 18)

Kemudian aku palingkan wajahku ke arah dinding sembari berbaring di atas tempat tidurku. Ketika itu aku yakin diriku lalu dari tuduhan itu dan Allah azza wajalla akan membersihkan namaku karena memang aku tidak melakukannya. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah azzawajalla akan menurunkan wahyu-Nya yang akan terus dibaca pada perkaraku. Karena, bagiku urusan diriku terlalu rendah sampai Allah azza wajalla harus membicarakannya dengan wahyu yang akan dibaca. Harapanku hanyalah agar Rasulullah sallallahu’alahi wasallam bermimpi dalam tidurnya di mana dalam mimpi tersebut Allah menunjukkan terlepasnya diriku dari tuduhan itu.

Demi Allah, Rasulullah sallallahu’alahi wasallam belum meninggalkan tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari keluargaku yang beranjak keluar tatkala turun wahyu kepada beliau. Mulailah beliau mengalami kepayahan sebagaimana yang biasa beliau alami bila wahyu sedang turun. Sampai-sampai keringat semisal mutiara mengucur deras dari tubuh beliau padahal hari sangat dingin, karena beratnya ucapan yang sedang diturunkan. Tatkala berlalu kejadian itu dari diri beliau, beliau tertawa. Awal kalimat yang dia ucapkan pada Aisyah adalah, "Wahai Aisyah, sungguh Allah telah membersihkanmu dari tuduhan tersebut."

"Bangkitlah menuju ke Rasulullah," perintah ibuku.
"Demi Allah, aku tidak akan bangkit menuju kepadanya dan tidak ada yang kupuji kecuali Allah," ucapku.

Allah  menurunkan ayat:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# râä!%y` Å7øùM}$$Î/ ×pt6óÁãã ö/ä3YÏiB 4 Ÿw çnqç7|¡øtrB #uŽŸ° Nä3©9 ( ö@t/ uqèd ×Žöyz ö/ä3©9 4 Èe@ä3Ï9 <͐öD$# Nåk÷]ÏiB $¨B |=|¡tFø.$# z`ÏB ÉOøOM}$# 4 Ï%©!$#ur 4¯<uqs? ¼çnuŽö9Ï. öNåk÷]ÏB ¼çms9 ë>#xtã ×LìÏàtã ÇÊÊÈ   Iwöq©9 øŒÎ) çnqãKçF÷èÏÿxœ £`sß tbqãZÏB÷sßJø9$# àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNÍkŦàÿRr'Î/ #ZŽöyz (#qä9$s%ur !#x»yd Ô7øùÎ) ×ûüÎ7B ÇÊËÈ   Ÿwöq©9 râä!%y` Ïmøn=tã Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ 4 øŒÎ*sù öNs9 (#qè?ù'tƒ Ïä!#ypk9$$Î/ šÍ´¯»s9'ré'sù yZÏã «!$# ãNèd tbqç/É»s3ø9$# ÇÊÌÈ   Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# ö/ä3øn=tæ ¼çmçGuH÷quur Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ö/ä3¡¡yJs9 Îû !$tB óOçFôÒsùr& ÏmŠÏù ë>#xtã îLìÏàtã ÇÊÍÈ   øŒÎ) ¼çmtRöq¤)n=s? ö/ä3ÏGoYÅ¡ø9r'Î/ tbqä9qà)s?ur /ä3Ïd#uqøùr'Î/ $¨B }§øŠs9 Nä3s9 ¾ÏmÎ/ ÒOù=Ïæ ¼çmtRqç7|¡øtrBur $YYÍhyd uqèdur yYÏã «!$# ×LìÏàtã ÇÊÎÈ   Iwöqs9ur øŒÎ) çnqßJçG÷èÏJy OçFù=è% $¨B ãbqä3tƒ !$uZs9 br& zN¯=x6tG¯R #x»pkÍ5 y7oY»ysö6ß #x»yd í`»tGökæ5 ÒOŠÏàtã ÇÊÏÈ   ãNä3ÝàÏètƒ ª!$# br& (#rߊqãès? ÿ¾Ï&Î#÷WÏJÏ9 #´t/r& bÎ) LäêZä. šúüÏZÏB÷sB ÇÊÐÈ   ßûÎiüt7ãƒur ª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# 4 ª!$#ur íOŠÎ=tæ íOŠÅ3ym ÇÊÑÈ   žcÎ) tûïÏ%©!$# tbq7Ïtä br& yìϱn@ èpt±Ås»xÿø9$# Îû šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNçlm; ë>#xtã ×LìÏ9r& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur 4 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ óOçFRr&ur Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÊÒÈ   Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tæ ¼çmçGuH÷quur ¨br&ur ©!$# Ô$râäu ÒOÏm§ ÇËÉÈ   * $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãèÎ6­Gs? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 `tBur ôìÎ7®Ktƒ ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# ¼çm¯RÎ*sù âßDù'tƒ Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ Ìs3ZßJø9$#ur 4 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# ö/ä3øn=tæ ¼çmçGuH÷quur $tB 4s1y Nä3ZÏB ô`ÏiB >tnr& #Yt/r& £`Å3»s9ur ©!$# Éj1tム`tB âä!$t±o 3 ª!$#ur ììÏÿxœ ÒOŠÎ=tæ ÇËÊÈ

11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar
12. mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13. mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.
16. dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.
18. dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.
20. dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).
21. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. "(An-Nur: 11-21)

Ketika Allahl menurunkan ayat yang menyatakan sucinya diriku dari tuduhan dusta tersebut, ayahku Abu Bakr Ash-Shiddiq radiallahi’anhu yang biasanya memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kekerabatan dengannya dan juga karena kefakiran Misthah, menyatakan, "Demi Allah, aku selamanya tidak mau lagi memberikan sedikitpun nafkah kepada Misthah setelah ia membicarakan apa yang ia bicarakan tentang Aisyah. "

Allah menurunkan ayat-Nya sebagai teguran:

Ÿwur È@s?ù'tƒ (#qä9'ré& È@ôÒxÿø9$# óOä3ZÏB Ïpyè¡¡9$#ur br& (#þqè?÷sムÍ<'ré& 4n1öà)ø9$# tûüÅ3»|¡yJø9$#ur šúï̍Éf»ygßJø9$#ur Îû È@Î6y «!$# ( (#qàÿ÷èuø9ur (#þqßsxÿóÁuø9ur 3 Ÿwr& tbq7ÏtéB br&
tÏÿøótƒ ª!$# óOä3s9 3 ª!$#ur Öqàÿxî îLìÏm§ ÇËËÈ

"Dan janganlah orang-orang yang memiliki kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan harus mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. "(An-Nur: 22)

Abu Bakar radiallahu’anhu berkata, "Tentu, demi Allah, aku senang bila Allah mengampuniku." Ia pun kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti semula."Demi Allah, aku tidak akan menghentikan nafkah ini dari Misthah selamanya," ucapnya.

Rasulullah sallallahu’alahi wasallam sempat bertanya kepada Zainab bintu Jahsy radiallahu’anhu pada perkaraku. "Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui atau engkau lihat dari diri Aisyah?" Tanya beliau.

"Wahai Rasulullah, aku menjaga penglihatan dan pendengaranku. Aku tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan, "jawab Zainab.

Di antara istri-istri Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, Zainab inilah yang menyaingiku dalam hal upaya ingin lebih dekat dengan Rasulullah rasulullah sallallahu’alaihi wasallam dan mendapat tempat lebih di hati beliau. Namun Allah  menjaga Zainab dengan sifat wara-nya sehingga ia tidak berbicara buruk tentang diriku. Adapun saudaranya, Hamnah bintu Jahsy, juga menyebarkan berita dusta tersebut karena ingin membela (memenangkan) saudarinya[Yang menjadi madu Aisyah radiallahu’anha sehingga dapat menjatuhkan Aisyah dan meninggikan posisi Zainab, saudarinya]. Ia pun celaka bersama orang-orang lain yang turut menyebarkan berita dusta tersebut. "(HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Demikianlah penukilan secara makna dari hadits yang panjang tentang kisah fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah radiallahuanha yang dikenal dengan Haditsul ifk.
Banyak manfaat yang disebutkan ulama kita dari hadits di atas. Di antara manfaat yang terkait dengan kaum wanita dapat kita sebutkan berikut ini:

1.  Seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri disyariatkan untuk mengundi di antara istri-istrinya bila ingin membawa salah seorang dari mereka dalam safarnya.
2.  Bisa membawa istri bepergian meskipun dalam rangka berperang.
3.  sekedup berfungsi seperti rumah untuk seorang wanita.
4.  Wanita bisa menunggang unta yang pada punggung unta itu dibuatkan sekedup. Adapun di zaman kita ini kemampuannya mencakup seluruh kendaraan yang bisa menutupi si wanita dalam perjalanannya.
5.  Laki-laki ajnabi bisa memberikan layanan / pelayanan kepada seorang wanita dari balik hijab.
6.  Seorang wanita bisa menutup dirinya dengan sesuatu yang terpisah dari tubuhnya.
7.  Kapan aman dari fitnah, wanita bisa pergi sendirian untuk buang hajat ke suatu tempat bila memang di rumahnya tidak ada WC, meskipun tanpa izin yang khusus dari suaminya, tapi cukup bersandar dengan izin yang umum berdasarkan kebiasaan yang umum.
8.  Wanita bisa memakai perhiasan kalung dan semisalnya ketika safar tapi tidak bisa dipertontonkan kepada pria selain mahramnya.
9.  Harusnya seorang wanita menjaga hartanya dari tersia-siakan meskipun nilainya sedikit. Kalung Aisyah tidak terbuat dari emas, tidak pula dari batu jauhar, tapi ketika hilang Aisyah berupaya mencarinya. Namun sebaliknya, tidak bisa terlalu berambisi kepada harta karena akan berakibat kesialan dan berdampak kejelekan.
10.  Wanita harus menutup wajahnya dari pandangan pria yang bukan mahram.
11.  Seorang pria harus memperhatikan adab terhadap wanita terlebih lagi bila terjadi khalwat (berduaan).
12.  Ketika seorang pria ajnabi berjalan sementara di dekatnya ada wanita ajnabiyyah, maka ia berjalan di depan wanita tersebut, tidak di belakangnya, agar ia aman dari kemungkinan melihat si wanita. Karena bisa jadi ada yang tersingkap dari si wanita ketika ia sedang berjalan.
13.  Seorang suami harus bersikap lembut kepada istrinya dan bergaul baik dengannya. Namun di saat terjadi sesuatu yang ia ingkari dari istrinya, meskipun belum pasti, ia bisa mengurangi perlakuan baik / lembut kepada istrinya seperti yang biasa ia lakukan di kala tidak terjadi apa-apa. Murah agar si istri mengambil perubahan sikap suaminya sampai ia mau minta maaf atau mengakui kesalahannya.
14.  Kapan seorang wanita akan keluar rumah karena suatu kebutuhan, hendaknya ia ditemani seseorang atau dilayani oleh seseorang yang bisa memberikan rasa aman.
15.  Seorang wanita harus meminta izin kepada suaminya bila ingin mengunjungi kedua orangtuanya.
16.  Hadits ini menunjukkan Aisyah dan Zainab c memiliki kelebihan dibanding istri-istri Rasulullah n yang lain.
17.  Diharamkan menyebarkan berita keji di tengah kaum muslimin.
18.  Bisa mengajak budak perempuan bermusyawarah atau meminta pendapatnya dalam hal yang ia punya pengetahuan tentangnya, sebagaimana Rasulullah n meminta pendapat Barirah x.
19.  Seorang suami harus mengucapkan salam kepada keluarganya bila ingin masuk rumah.
Demikian manfaat ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam karyanya yang sangat berharga, Fathul Bari (8/608-609).

Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.

Disalai dari website http://www.asysyariah.com dan

Di publikasikan kembali oleh usmansedek.blogspot.com
Continue Reading »